Wakaf Tunai Anamfal Care
Setelah
zakat, infak dan sedekah, instrumen selanjutnya yang dapat diberdayakan dalam
hal filantropi Islam adalah wakaf. Dalam masyarakat, wakaf sendiri sudah
akrab dikenal. Ada yang mewakafkan tanah yang dimilikinya untuk didirikan
masjid, madrasah atau fasilitas umum lainnya. Ada yang mewakafkan pemanfaatan
tanah untuk dikelola di atasnya dan hasilnya kemudian disedekahkan. Ada juga
yang mewakafkan bahan material yang ia miliki untuk dimanfaatkan dalam
pembangunan fisik. Dan berbagai bentuk fisik lainnya.
Secara etimologi,
wakaf berasal dari kata Waqf yang berarti al-Habs : menahan,
berhenti atau diam. Sedangkan secara terminologi yaitu menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya tapi bendanya tetap dengan cara
memanfaatkannya untuk kebaikan dengan niat ibadah pada Allah. Banyak sekali
dijumpai dalam kitab-kitab fiqh klasik. Sebagai pendekat pemahaman dirasa perlu
untuk meniliti masing-masing pendapat mereka. Sayid Sabiq dalam kitabnya yang
berjudul, fiqh al sunnah menyatakan dengan menggunakan bahasa yang simple
tapi padat. “Habasul ashlul maal wa tasy bilusshamarah fi
sabilillah”, artinya menahan asal pokok harta dan mendermakan
hasilnya serta memanfaatkannya pada jalan Allah swt. Sayid Sabiq memakai
kata habs dan tasbil untuk istilah wakaf ini, yang bermakna
menahan harta dan tasbilus-shamarah atau mendermakan hasilnya. Para
ulama fiqih yang menjadikan ayat-ayat umum yang membicarakan sedeqah, infaq,
dan amal jariyah.Para ulama menafsirkannya bahwa wakaf sudah tercakup dalam
cakupan ayat tersebut.[1]
Apabila
kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain,
ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu. Dalam pengertian hukum
Islam, wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan
tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok
(organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan
syariat.
Dalilnya, di antaranya disandarkan pada hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, : “Ia berkata : ‘Bahwa sahabat Umar Ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar Ra menghadap Rasulullah Saw untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah Saw, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah Saw bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). “kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim).
Lalu,
bagaimana dengan Wakaf Tunai? Bukankah wakaf biasanya identik dengan harta
yang berbentuk fisik? Tentang hal ini, Ulama yang pertama kali menganjurkan
wakaf tunai adalah Muhammad bin Abdullah Al-Anshari, murid dari Zufar, sahabat
Abu Hanifah, di mana ia mulai memperbolehkan berwakaf dengan dinar dan dirham
(mata uang kala itu).
Sedangkan
kita di Indonesia, wakaf tunai telah mendapat payung hukum secara syariah. Hal
ini termaktub dalam fatwa Komisi Fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau
pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut
(menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada
sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.” Sedangkan secara
legal-formal, pemerintah telah menerbitkan UU No 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf yang mengatur tentang Wakaf ini.
Definisi
Wakaf
Tunai atau Wakaf Uang (Cash Wakaf / Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang
dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang
tunai. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat
berharga.[2] Donasi ini akan dicatatkan sesuai peruntukan manfaatnya
hingga terkumpul cukup modal untuk diinvestasikan pada sebuah aset produktif
yang ditetapkan oleh pengelola. Surplus atas aset produktif tersebut yang
kemudian akan didayagunakan untuk program-program sosial sesuai
peruntukannya.
Sesungguhnya
jika ditelaah, wakaf tunai pada hakikatnya bukan merupakan instrumen baru. Praktik wakaf tunai telah dikenal lama dalam sejarah Islam.
Sebagaimana dikutip KH Didin Hafidhuddin, Imam Az
Zuhri (wafat tahun 124 H) memberikan fatwa yang membolehkan wakaf diberikan dalam bentuk uang, untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pembangunan umat. Kemudian,
istilah wakaf tunai tersebut kembali dipopulerkan oleh
MA Mannan, seorang pakar ekonomi syariah asal Bangladesh, melalui pendirian Social Investment Bank (SIB), bank yang
berfungsi mengelola dana wakaf.
Sebenarnya,
wakaf tunai itu pada dasarnya bertujuan menghimpun dana abadi yang bersumber dari umat, yang kemudian dapat dimanfaatkan bagi
sebesar-besarnya kepentingan dakwah dan masyarakat.
Selama ini, masyarakat hanya mengenal wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan. Sedangkan wakaf dalam bentuk uang belum tersosialisasi
dengan baik. Padahal, wakaf tunai ini memberi
kesempatan kepada setiap orang untuk bersadaqah jariyah dan
mendapat pahala yang tidak terputus tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah
atau saudagar kaya. Orang bisa berwakaf hanya dengan
membeli selembar sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan
oleh institusi pengelola wakaf (nadzir). Hal tersebut berbeda dengan zakat, di
mana untuk menjadi muzakki, seseorang harus memenuhi
sejumlah persyaratan yang di antaranya adalah hartanya
harus melebihi nishab.
Dana
wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan
oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha
yang halal dan produktif, sehingga keuntungannya dapat dimanfaatkan
untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan. Bisa dibayangkan, jika 20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai
senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang
terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf
sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu potensi yang luar
biasa.
Fakta
pun telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi
yang signifikan. Sebagai contoh adalah Universitas Al
Azhar Mesir, PP Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan
sebagainya.
Islamic
Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan
sertifikat wakaf tunai senilai 890 poundsterling per
lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang
yang berada di 25 negara. Bahkan di Bosnia, wakaf
tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi
lebih dari 7.000 orang melalui program Income Generation
Waqf.[3]
Seiring
perkembangan zaman, banyak lembaga nadzir bermunculan di Indonesia. Seorang
wakif (pewakaf) dapat menyampaikan amanahnya (wakaf uang) melalui seseorang
atau lembaga nadzir (pengurus wakaf) untuk digunakan demi kemaslahatan umat dan
sesuai syariat Islam. Amanah tersebut dikelola secara produktif dalam berbagai
macam bentuk seperti pembangunan pesantren, sumur, masjid, fasilitas umur, dan
lain-lain.
Semoga
umat muslim dunia dan khususnya yang ada di Indonesia dapat terus meningkatkan
potensi wakaf tunai ini sebagai jalan pengembangan peradaban umat.
Wallaahu
A'lam.
_________________
Referensi
: